Monday, November 4, 2013

Sepenggal Perjalanan





Lulusan SMA, tidak terlalu buruk untuk ukuran keluarga yang tidak kaya, kurang berpendikan dan ditelantarkan sosok ayah seperti saya. Saya bersyukur. Namun beberapa teman yang mengenal saya di sekolahan menyayangkan sekali, kenapa dengan prestasi yang ga ancur ancur amat, bahkan bisa dibilang tidak semua anak ningrat dan priyayi bisa meraih seperti yang saya raih, harus berujung dengan predikat TKW bukan SARJANA? Empati mereka sempat membuat saya sundul sekaligus ngenes. Namun tak apa. Ini hidup saya. Ini jalan Tuhan. Ini jalan halal. Hidup harus diteruskan, persetan reputasi dan pencitraan.

Lulus SMA sekitar 7 tahun silam, 2006. Sungguh pada saat itu dalam keadaan arus pikiran yang semrawut seakan masa depanku sudah terhenti sampai di situ saja. Kondisi ekonomi yang makin mengkeret dan tuntutan batin harus membantu kesibukan rumah mengendapkan angan anganku hanya sampai di tenggorokan dan kutelan begitu saja. Tak ada yang perlu disalahkan. Mungkin justru saya yang harus disalahkan karena terlalu tinggi berangan angan, sementara Emak sudah mati matian memperjuangkan saya sampai lulus SMA dan membangun tempat tinggal, dengan keringatnya sendiri. Sering sebelum lulus saya selalu menanyakan "kemana nanti melanjutkan ?" namun pertanyaan itu justru selalu menimbulkan ketegangan antara kami, perbincangan tidak nyaman, hingga membungkamku berhari hari dalam tangis. Ah..sungguh saya tak tau diri.

Setahun pertama setelah kelulusan, saya menjadi gadis yang jinak, cupu, tekanan batin atau broken inside istilah sononya. Jangankan internet, HP saja saya ga punya sementara domosili di daerah yang bisa dibilang sangat pantes buat setting film kolosal. Rasanya seperti semacam mengubur diri, setelah sebelumnya saya sosok yang pemikir ( rajin mikir kalo pas ulangan maksudnya), aktif dan super whatever, blank tentang rekosone urip,  mendadak hanya bisa berdiam diri di rumah, buntu ide kelelahan menunggu peluang, sementara saya sendiri tidak tau peluang apa yang sedang saya tunggu. Belum lagi kekhawatiran yang mendalam ( makin hari makin dalam kala itu ) ketika mendengar celotehan emak emak yang memiliki anak lelaki lajang sedang nyari mantu. Sungguh saya tidak mengira hidup saya bakal sampai pada hari ini, karena saya yakin kiamat akan segera terjadi di masa masa itu. Hahah! Liiibay? Ya memang, dari uneg uneg yang paling dalam sama sekali tidak terlintas dalam pikiran saya tentang rencana segera nikah apa lagi beranak pinak. Damn i was blank about that!

Setahun terlewati, sampailah pada ujung suntuk. Saya beranikan diri mengutarakan niat ke Emak, saya pengen seperti orang orang, saya frustasi di rumah, tidak ada penghasilan di rumah, sementara saya punya kebutuhan pribadi. Saya merasa sudah tidak pantas lagi menengadah tangan ke orang tua. Saya pengen merantau. ....... Beberapa hari wajahnya gundah, sampai akhirnya beliau mengutarakan sesuatu. " Aku belum tega kamu merantau jauh, kamu masih belum ada pengalaman kerja sama sekali, dan masih banyak ulah. Terlalu beresiko." GLEKK!!! Kesekian kalinya kuhempaskan tubuhku ke ranjang berjam jam sampai mata membengkak dan panas. Namun ku acuhkan, kutarik buku berbentuk persegi panjang dari laci, tempat biasa kutuangkan sampah sampah otak.
Kesekian kalinya seperti itu.

Beberapa hari kemudian..
Akhirnya Tuhan memberi celah. Salah satu saudara menyarankan untuk bekerja di tempat dia dulu bekerja, jaga anak anak Cina, biar aku belajar, agar tahu rasanya  ikut orang. Ya , apapun, asal saya bisa setidaknya  "bergerak".

Saya diterima dengan baik di keluarga Chinese beranak 3 yang memiliki Optik lumayan ternama di kotanya. Optik Primadona namanya. Cerewet ga ketulungan , anak anak hyperactive , namun penuh pembelajaran. Saya punya 2 teman di situ, dapat tugas jaga masing masing anak, dan membantu di optik sewaktu senggang.

Setelah setahun kuputuskan berhenti kerja dari disitu. Mereka keberatan, anak anak menyukaiku, menyukai caraku mengajak mereka becanda, nyanyi,  mengajari mereka bahasa Inggris yang  tanpa aku sadar aku juga merasa sangat berat meninggalkan mereka. Bahkan sempat tacik (nyonya) mengutarakan janji aku akan ditempatkan di optik, jaga anak anak kalo pas belakang sibuk saja. Namun saya tolak . mengingat target setahun lalu. Saya butuh penghasilan lebih, karena saya berniat melanjutkan kuliah, entah sambil kerja, atau sepulang saya kerja.  Ah entah nanti.

Saya pamitan, tapi anak anak diungsikan ke rumah abo (nenek) mereka kala itu, agar tidak memberatkan kepulanganku. ah sedihnya.. Yang membuatku terharu mereka mengatakan akan selalu menyambut baik jika suatu saat saya ingin bekerja lagi di situ. Terima Kasih Cik Lilik dan Engkoh Sen Sen, telah mempercayaiku. Cing Lung, Cing Kwok, Yenli.. I miss ya!


Tak mau berlama lama di rumah. Segera saya mencari info dan mengurus surat surat yang diperlukan untuk daftar di PJTKI. Ada ada saja geronjalannya, salah satunya belum cukup umur karena masih 20 tahun, sementara ketentuan usia minimal 21 tahun. Ya..apa boleh buat, selangkah mendadak brengsek, kusuap seseorang untuk menuakan usiaku, dan memalsukan beberapa identitas.

Persyaratan kelar. Restu dan doa beres. Saya berangkat ke salah satu kantor PJTKI Kediri dalam kondisi batuk yang lumayan parah. Sempat hopeless juga pas medical , tapi Alhamdullillah fit dan bisa mengikuti bimbingan. Stress, pro dan kontra yang tidak begitu berarti di penampungan, saya bisa melewatinya dalam waktu 5 bulan, mendapat majikan orang Indonesia, job bersih bersih  rumah, masak, dan sesekali membantu kerjaan pabrik majikan. Diiringi restu dan doa dari keluarga dan teman teman, Agustus 2009 saya berangkat ke Hongkong dengan begitu besar tekad, semangat dan harapan. Wuu..

No comments:

Post a Comment